Jumat, 12 September 2008

Pemahaman Tentang Hakama

Pemahaman Tentang Hakama

Hakama adalah pakaian tradisional Jepang yang biasa digunakan dalam seni beladiri seperti Aikido, Kendo, Jujutsu, dan Kyudo. Hakama dianggap sebagai suatu hal yang menarik bagi praktisi beladiri yang memakainya. Tidak sedikit dari praktisi beladiri tersebut yang berlatih hanya karena berambisi untuk dapat mengenakan hakama tanpa memahami maknanya. Bahkan beberapa diantaranya hanya ingin terlihat gagah atau anggun dengan hakama. Tentu saja hal ini sangatlah disayangkan….

Dalam Aikido, hakama biasanya dikenakan oleh praktisi yang telah mencapai tingkat yudansha (shodan ke atas), kecuali bagi praktisi wanita. Mereka diperbolehkan mengenakan hakama pada tingkat kyu tertentu. Tradisi ini tanpa disadari menjadi sebuah persepsi yang salah bagi para praktisi Aikido dalam menilai makna dari sebuah hakama pada latihan mereka. Pendapat yang berkembang umumnya menganggap bahwa hakama mewakili tingkatan seseorang, sehingga ia dapat disebut sebagai “Sensei”. Bahkan hakama dinilai sebagai simbol superioritas mereka dalam teknik. Hal yang lebih menyedihkan, apabila seorang Aikidoka terburu-buru mengikuti ujian kenaikan tingkat hanya karena ingin cepat mengenakan hakama. Setelah ia mendapat apa yang dinginkannya, kemana Aikido akan dibawa dengan pemahaman seperti itu?
Hakama merupakan simbol dari spirit Budo dalam Aikido. Di dalamnya terdapat falsafah dan prinsip hidup seorang Budoka (ksatria). Maka untuk menjalankan falsafah hidup seorang kstaria menjadi tanggung jawab moral bagi siapa saja yang mengenakan hakama. Pada hakama terdapat 7 ruas (garis) yang terbujur secara vertikal, dengan posisi 5 garis di bagian depan dan 2 garis lain di bagian belakang. Setiap garis tersebut memiliki makna yang mendalam sebagai simbol dari karakteristik ajaran Budo. 7 ajaran Budo ini dikenal sebagai 7 Pilar Budo.

Ketujuh pilar tersebut adalah:
1. Gi/The Truth: Kebenaran
Kebenaran adalah titik kulminasi pencarian manusia yang tertinggi dalam hidupnya. Karena nilai kebenaran yang tertinggi hanya ada satu dan satu-satunya, yaitu Tuhan. Manusia dalam perjalanan hidupnya akan hampa dan tidak berarti apapun jika ia tidak menyadari bahwa ia merupakan bagian yang sangat kecil dari sekian banyak ciptaan Tuhan yang tidak terhitung jumlahnya.
Dalam Budo, nilai-nilai spiritual merupakan esensi ajaran serta tujuan akhir dari perjalanan hidup seorang Budoka. Sehingga orang-orang yang mempelajari Budo (seni bela diri) , namun ia berpaling dari agama maka pada dasarnya ia tidak mengerti akan apa yang ia pelajari. Hal ini ditegaskan O’Sensei “Tidak ada di dunia ini yang tidak dapat mengajari kita
2. Meiyo/Respect & Honor : Menghormati dan Kehormatan

Sikap menghormati merupakan sifat yang sangat lekat dengan karakter budaya masyarakat Jepang. Hal ini dapat kita lihat dari budaya “REI”, yaitu membungkukkan badan sebagai tanda menghormati seseorang. Dalam Budo sikap menghormati seperti ini merupakan gambaran nilai kehormatan bagi seorang samurai, dengan kata lain seorang samurai hanya dapat dikatakan memiliki sebuah kehormatan dalam dirinya, bila ia tahu bagaimana cara menghormati orang lain.
Dalam falsafah moral ini sangat penting untuk mempraktekkan cara bersikap dengan benar dan baik khususnya terhadap orang-orang yang statusnya berada diatas kita, seperti kepada orang tua kita, guru dan atasan atau tuan pada masa dahulu. Dalam buku “Bushido Shosinshu” yang ditulis oleh Taira Shigesuke (1639-1730), dikatakan bahwa “bagi para ksatria (Budoka), merawat dengan baik orang tua adalah suatu hal yang mendasar”. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kedua orang tua merupakan asal muasal eksistensi kita dimuka bumi, darah daging yang kita miliki adalah darah daging mereka. Mereka akan melakukan apapun yang terbaik untuk kehidupan anaknya. Maka sudah menjadi tugas dan kewajiban setiap orang, apalagi bagi mereka yang menempuh jalan ksatria (Budoka), untuk berbakti dan memuliakan kedua orang tua seumur hidupnya.

Terhadap guru, kita juga harus menghormati mereka. Guru dalam bahasa Jepang disebut “Sensei”. Artinya orang yang terlahir lebih dahulu, dan lebih lanjut memiliki pemahaman sebagai orang yang memiliki pengetahuan & kebijaksanaan tentang kehidupan lebih mendalam dari yang kita miliki atau orang yang kita jadikan tempat belajar atau bertanya, sekalipun usianya mungkin lebih muda dari kita.

Dalam Budo, guru diibaratkan sebagai orang tua kedua setelah kedua orang tua kita. Hal ini disebabkan karena mereka mengajarkan banyak hal tentang kehidupan setelah orang tua kita. Mereka turut mendidik dan membantu murid agar dapat menjalani kehidupan dengan baik.
Seorang Sensei dalam Budo merupakan jabatan spiritual, dimana pertanggungjawaban moral saja tidaklah cukup. Seorang Sensei harus bertanggung jawab untuk mendidik murid-muridnya agar menjadi manusia yang lebih baik secara fisik, mental, moral dan akhirnya spiritual.
3. Makoto/Honesty & Sincerity: Kejujuran dan Ketulusan

Kejujuran dalam tutur kata dan Ketulusan dalam perbuatan adalah hal yang esensial dalam Budo. Bila kita menghormati seseorang, maka kita lakukan dengan sepenuh hati dan jiwa, bukan tampilan fisik semata. Apabila kita bertutur kata, maka katakanlah yang sebenarnya, yang ada dalam hati dan pikiran kita dengan cara yang baik dan terhormat. Kejujuran merupakan hal yang sulit dilakukan kecuali bagi mereka yang memiliki keberanian dalam jiwa mereka. Menjaga kepercayaan dari orang lain (amanah), juga merupakan salah satu bentuk kejujuran dan ketulusan.
4. Chugi/Loyalty: Kesetiaan

Kesetiaan adalah suatu sikap yang terhormat, sedangkan pengkhianatan adalah sikap yang rendah dan hina. Seorang ksatria akan menjaga kesetiaannya bahkan apabila harus mengorbankan nyawa sekalipun. Samurai-samurai pada jaman dahulu (sebelum restorasi Meiji) rela mengorbankan nyawa mereka untuk membela tuannya atau perguruannya.
5. Rei/Courtesy: Sopan Santun

Tata tertib dan sikap sopan santun adalah bagian yang integral dalam Budo. Tanpa sikap dan tata kesopanan yang baik dan benar, maka seseorang tidak dapat dikatakan sebagai ksatria sekalipun ia sangat mahir dalam bertempur. Sikap “Rei” adalah sebuah contoh yang mudah kita pahami. Rei pada saat memasuki dojo, memulai latihan, menutup latihan hingga kita keluar dojo, merupakan hal yang harus dilakukan dengan pemahaman yang mendalam. Sering kali hal seperti ini dianggap remeh karena tidak memahami semangat (spirit) dari latihan. Perlu diingat bahwa kita berlatih bukan sebatas untuk olah raga atau sekedar berlatih untuk bertarung namun diharapkan latihan aikido dapat membentuk mental, moral dan spiritual seorang aikidoka yang mampu beradaptasi pada kondisi seburuk apapun dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini sikap dan sopan santun sangatlah diperlukan sebagai sebuah disiplin dalam sebuah seni beladiri agar terbentuk sebuah keberanian yang diikuti sifat kerendahan hati para praktisinya.
6. Jin/Knowledge and Wisdom: Pengetahuan dan Kebijaksanaan

Budo merupakan suatu bentuk pengetahuan yang menghasilkan kebijaksanaan. Setiap pengetahuan haruslah menghasilkan sebuah nilai kebijaksanaan. Tanpa kebijaksanaan pengetahuan hanya akan menghasilkan bencana.
Dalam Budo anda mempelajari tentang nilai hidup dan mati. Anda melatih kemampuan hati, pikiran dan tubuh untuk menerima kematian atau mengakibatkan terjadinya hal tersebut. Oleh karenanya, pengetahuan Budo tanpa kebijaksanaan adalah sebuah malapetaka kemanusiaan.
Kebijaksanaan tertinggi dalam Budo adalah mengalahkan diri sendiri dan menempa hati, pikiran dan tubuh untuk bersungguh-sungguh mencari nilai kebenaran tertinggi.
7. Yuki/Courage: Keberanian

Keberanian diletakkan pada urutan terakhir dari ke 7 pilar Budo, karena keberanian hanya dapat diperoleh setelah seseorang mampu memahami dan menjalani ke 6 pilar sebelumnya. Keberanian dalam diri seorang ksatria merupakan pancaran dan sifat-sifat serta akhlak yang mulia. Keberanian yang dilandasi pemahaman terhadap nilai-nilai kebenaran sejati dan kehormatan diri bukan keberanian yang didasari pada kemarahan dan keinginannya untuk mengalahkan orang lain.

Mengingat kematian juga merupakan hal yang sangat esensial untuk membentuk sifat-sifat Budo karena seseorang yang senantiasa mengingat kematian akan selalu menjaga perbuatan dan sikapnya agar tetap berada dalam koridor kebenaran. Seorang samurai harus selalu mengingat kematian setiap saat, baik pada saat pertempuran yang dapat mengakibatkan kematian bagi dirinya maupun lawannya, atau dalam menjalani hidup sehari-hari. Keberanian menghadapi maut merupakan hal yang mutlak harus dimiliki seorang Budoka dalam menghadapi situasi perkelahian yang sebenarnya karena dalam pertarungan sesungguhnya tidak ada menang kalah melainkan hidup atau mati. Oleh sebab itu seorang Budoka harus memastikan dirinya selalu berpegang teguh pada nilai kebenaran, karena pertempuran yang pertama dapat menjadi pertempuran terakhir baginya. Sekali ia mengambil keputusan untuk bertempur maka ia tidak akan mundur atau lari. Dia juga tidak akan pernah menyesal dengan keputusan yang diambil, sekalipun ia harus kehilangan nyawa. Karena ia tahu bahwa ia berada dalam kebenaran.
Miyamoto Musashi menjelaskan dalam buku “Go Rin No Sho” ( the book of five rings) bahwa apabila seorang samurai telah mencabut pedang dan berkata “saya akan bertahan hidup disini!” maka orang itu akan mati lebih cepat dari yang dia kira. Dan jika seorang samurai mencabut pedangnya dan berkata “ saya akan mati disini, saya akan mati dengan kehormatan” maka orang seperti ini akan hidup lebih lama dari yang dia harapkan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar